Headline

Selasa, 01 November 2011

keadilan Pajak


Mengenai tujuan hukum pada umumnya, penulis pernah mendengar ajaran berbagai sarjana, Aristoteles yang telah terkenal dalam bukunya Rhetorica, menganggap bahwa hukum bertugas membuat adanya keadilan.
Tujuan hukum pajak adalah membuat adanya keadilan dalam soal pemungutan pajak. Azas keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-undangannya maupun dalam prakteknya sehari-hari. Inilah sendi pokok yang seharusnya diperhatiakan baik-baik oleh setiap negara untuk melancarkan usahanya mengenai pemungutan pajak. Selain itu, yang dalam suatu negara dianggap adil, belum tentu dianggap demikian dalam negara lain. Misalnya : di Jepang pegawai negeri dibebaskan dari pajak pendapatan karena dipandangnya adil oleh sebab pegawai negeri telah langsung menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada pemerintah. Sejak 1 Januari 1964 di Indonesia demikian juga, dengan pengertian, bahwa pajak pendapatannya dipikul oleh pemerintah. Sebaliknya di negara-negara lain, tidaklah pernah disinggung-singgung tentang pengecualian pajak pendapatan bagi pegawai negeri. Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus ditempuh ialah mengusahakan agar upaya pemungutan pajak diselenggarakan secara umum dan merata. Oleh karenanya maka diciptakanlah oleh rakyat pada jaman itu, suatu dalil, bahwa pemungutan pajak harus bersifat umum dan merata. Hanya sifat adil semacam itulah yang dapat dirasakan sesuai den0gan rasa keadilan mereka, dan semenjak jaman itulah semboyam itu diteruskan hingga pada waktu ini, suatu syarat yang baik pula luhur, tetapi yang lebih mudah dicantumkan sebagai semboyan daripada dipraktekkannya. Sebab bermacam ragam kesulitan yang harus dihadapi di dalam penyelenggaraannya.
Dalam abad ke-18, Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (terkenal dengan nama Wealth of Nations) melancarkan ajarannya sebagai azas pemungutan pajak yang dinamainya "The Four Maximx" dengan uraiannya sebagai berikut :
1. Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, di bawah perlindungan pemerintah (asas-pembagian/asas kepentingan). Dalam asas "equality" ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.
2. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (not arbitary). Dalam asas "certainty" ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.
3. "Every taxt ought to be levied at the time, or ini the manner, in which it is most likely to be convenient for the contributor to pay it." Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut "convenience of payment", menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak , yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
4. "Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the pockets of the people as little as possible over and above what it brings into the public treasury of the State." Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.
Prof. Hofstra dalam mengemukakan pendapatnya mengenai : "The Four Maxims" dari Adam Smith ini mengatakan bahwa dalam "formulasi klasik dari teori tentang pajak" itu terlihat adanya kepincangan dalam tubuh asas-asas tersebut, disamping kenyataan, bahwa cara perumusan Maxim pertama dirasakannya kurang tandas dan tuntas (exact). Misalnya : Oleh Adam Smith diwariskan kepada generasi penerusnya suatu persoalan penting , yaitu : Apa sajakah yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk mengukut "equality" tersebut ? Namun demikian, ungkapan (Adam Smith) itu merupakan sesuatu yang merumuskan suatu asas pemungutan pajak yang dalam prinsip diikuti oleh para sarjana (pengikutnya) sepanjang masa. Baru jauh kemudian (dimulai dengan John Stuart Mill, lebih kurang tahun 1830) ditemukan formulasi yang lebih konkret, yaitu bahwa dalam pajak atas pendapatan bukanlah pendapatan itu sendiri yang dipakai sebagai ukuran pengenaan pajak pendapatan, melainkan yang terkenal dengan nama "gaya pikul" ability to pay taxes.
Lain halnya dengan maxim-maxim berikutnya. Persyaratan keadilan (dalam maxim kedua) sesungguhnya berlaku penuh untuk bidang hukum seluruhnya, jadi tidak merupakan monopoli hukum pajak. Sekalipun demikian, daripadanya tercermin betapa pentingnya adanya pembatasan-pemnbatasan yang tepat, pasti, dan tegas, sehingga tidak memungkinkan ditemukannya peluan oleh siapapun untuk mengelakkan diri dari pajak dalam bentuk penyelundupan dan sebagainya. Selanjutnya maxim ke-3 dan ke-4 dianggapnya hanya bersifat memberi petunjuk dalam pelaksanaannya.Demikian Hofstra, demikian pula communis opinio docyorum.
Pada umumnya dalam hukum pajak, oleh sarjana-sarjana setelah (mangkatnya) Adam Smith, selain asas keadilan (yang tercakup dalam kategori besar di bawah nama "asas menurut falsafah hukum"), juga diajarkan asas-asas lain yang tidak kurang pentingnya untuk mendapatkan perhatian penuh, yaitu asas yuridis , asas ekonomis, dan asas finansial. Sebagaimana tercantum di dalam "The Four Maxims" yaitu : asas keadilan dalam maxim pertama asas yuridis dalam maxim ke-2, sedangkan asas ekonomis dan finansial masing-masing dalam maxim ke-3 dan ke-4.
Pembuatan undang-undang pajak harus selalu memegang teguh kepada asas keadilan, dalam falsafah hukum "The Four Maxims", maxim pertama menyatkan bahwa asas pemungutan pajak harus mengabdi kepada keadilan yang disebut asas pemungutan pajak, disamping asas-asas lainnya seperti yang yuridis, ekonomis dan finansial. Yang menjadi pertanyaan apakah pemungutan pajak oleh negara berdasarkan pula atas keadilan, apa dasa hukumnyanya, maka ada kewajiban membayar pajak, dengan perkataan lain atas dasar apakah maka negara seakan akan memberi hak kepada diri sendiri untuk membebani rakyat dengan pajak, karenanya sejak abad ke 18 timbullah pelbagai teori guna memberi dasar menyatakan keadilan (justification) kepada hak negara untuk memungut pajak dari rakyatnya.
Teori yang menyatakan hak negara untuk memungut pajak disesuaikan dengan pandangan hidup pada zaman tersebut yang harus dipahami dan diinsyafi oleh masyarakatnya. Teori tersebut, yaitu : a)teori asuransi, b) teori kepentingan, c) teori gaya pikul, d) teori kewajiban pajak mutlak atau teori baku, e) teori asas gaya beli.
1. Teori Asuransi
Tugas negara untuk melindungi orang dan segala kepentingannya yaitu keselamatan dan keamanan jiwa, serta harta benda. Dalam perjanjian asuransi (pertanggungan), maka untuk melindungi hal tersebut diperlukan pembayaran premi, dan dalam hal ini pajak yang dianggap sebagai preminya yang pada waktu-waktu tertentu harus dibayar oleh peserta, walaupun perbandingan dengan perusahaan asuransi tidak tepat, karena : a) dalam timbul kerugian, tidak adalah suatu penggantian dari negara, b) antara pembayaran jumlah pajak dengan jasa-jasa yang diberikan oleh negara, tidaklah terdapat hubungan yang langsung.
Teori ini oleh para penganutnya dipertahannkan, sekedar untuk memberi dasar hukum pajak saja, karena pincangnya persamaan tadi yang menimbulkan ketidak puasan, disamping itu bahwa pajak bukan retribusi bahwa orang yang membayar berhak mendapatkan kontraprestasi yang langsung, sehingga penganut teori ini makin berkurang, karena pembayaran pajak tidak dapat disamakan dengan pembayaran premi oleh sesorang kepada perusahaan peretanggungan.
2. Teori Kepentingan
Teori ini semula hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya, termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan kepada mereka.
Teori ini banyak mendapat sanggahan, karena dalam ajarannya bahwa pajak dikacaukan dengan retribusi untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu perlindungan terhadap harta benda yang lebih banyak harganya daripada harta si miskin, diharuskan membayar pajak yang lebih besar pula, padahal dalam hal tertentu simiskin mempunyai kepentingan tertentu yang lebih besar, misalnya hak untuk perlindungan jaminan sosial sehingga sebagai konsekwensinya seharusnya membayar pajak yang lebih besar. Disamping itu belum ada alat ukur untuk mengambil kepentingan seseorang, sehingga sukar sekali ditentukan dengan tegas.
3. Teori Gaya Pikul
Menurut teori ini bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk keperluan ini diperlukan biaya yang dipikulkan oleh segenap orang yang menikmati perlindungan itu, yaitu dalam bentuk pajak.
Teori ini berdasarkan asas keadilan, yaitu tekanan pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang (bandingkan dengan maxim pertama). Pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang. Gaya pikul adalah besarnya penghasilan dan kekayaan juga pengeluaran atau pembelanjaan seseorang, sehingga teori ini masih dipertahankan oleh pakar pajak., namun masih timbul kesalah pahaman, seperti pendapat Sinninghe Damste yang telah berputar haluan dan berpendapat, bahwa selain dari gaya pikul juga harus pula diperhatikan kepentingan-kepentingan yang lain dari wajib pajak, sedangkan de Langen menyatakan bahwa asas gaya pikul hingga kini masih tetap merupakan asas yang terpenting dalam hukum pajak, walaupun tidak disangkal bahwa ada asas lain yang juga menduduki tempat pertama, seperti asas perolehan utama dan asas kenikmatan, bahwa pajak dapat dipungut seimbang dengan jasa-jasa pemerintah yang telah dinikmati oleh wajib pajak seperti dalam jual beli, bahwa membayar sesuatu seimbang dengan apa yang diperolehnya.
Menurut de Lange, bahwa setiap individu mendapat tekanan yang sama, seimbang dengan luasnya pemuasaan kebutuan yang diperlukan untuk kehidupan yang mutlak harus diabaikan, dan sisanya inilah yang disamakannya dengan gaya pikul seseorang. Perkataan dapat dipungut mengandung arti bahwa tabungan seseorang termasuk pula ke dalam pengertian gaya pikulnya. Menurut Cohen Stuart, bahwa gaya pikul disamakan dengan jembatan, yang pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba untuk dibebani. Beliau menyarankan bahwa yang sangat diperlukan untuk kehidupan harus tidak dimasukkan ke dalam pengertian gaya pikul. Kemampuan untukl membayar pajak setelah kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia, karena hak manusia yang pertama adalah hak untuk hidup, oleh karena itu yang pertama kali harus diperhatikan adalah hak atas asas minimum kehidupan.
Menurut Sinninghe Damste, bahwa gaya pikul disebabkan oleh bermacam-macam komponen, yaitu ; a) pendapatan, b) kekayaan, c) susunan dari keluarga. Asas ini memuat ketentuan bahwa pajak atas penghasilan/kekayaan harus ditetapkan menurut gaya pikul seseorang. Menurut de Langen, bahwa gaya pikul adalah kekuatan untuk membayar uang kepada negara, jadi untuk membayar pajak, setelah dikurangi dengan minimum kehidupan yang besarnya tergantung dari jumlah uang yang ada pada seseorang baik yang berupa penghasilan maupun yang berupa kekayaan, sehinga de Langen mendifinisikan bahwa gaya pikul adalah besarnya kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasaan kebutuhan setinggi-tingginya, setelah dikurangi dengan yang mutlak untuk kebutuhan yang primer.
Gaya pikul tidak dapat diukur dengan pasti dan selalu berubah dengan berubahnya zaman (bandingkan dengan tarif progresif). Harus diperhatikan adanya hubungan tertentu antara jumlah pajak yang harus dipungut dengan besarnya gaya pikul sedemikian rupa, sehingga memuaskan perasaan tentang keadilan. Meskipun yang harus dikenakan pajak telah jelas, namun masih tetap perlu dipersoalkan tarif manakah yang harus diperlakukan baginya yang proporsional, yang degresif ataukah yang progresif, dan berapakah besarnya persentase pajak yang akan dipergunakan untuk tarif masing-masing yang sangat tergantung dari rasa keadilan. Pada jaman modern ini ada kecenderungan bahwa para ahli pajak untuk menggantungkan jumlah pajak dari besarnya penghasilan yang lebih besar persentasenya dibandingkan dengan memperhatikan besarnya tanggungan keluarga.
4) Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Baku)
Teori ini berbeda dari teori sebelumnya yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori berdasarkan atas paham Organische Staatsleer bahwa negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan telah diakui sejak berabad-abad yang lalu bahwa sebagai tanda bukti bakti kepada negara maka orang mempunyai kewajiban untuk membayar pajak.
Menurut Van den Berge, bahwa negara sebagai groepsverband (organisasi dari golongan) dengan memperhatikan syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan umum dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukannya, termasuk juga tindakan dalam pajak. Jadi dasar hukum pajak terletak dalam hubungan rakyat dengan negara yang memungut pajak daripadanya.
5) Teori Asas Gaya Beli
Teori ini lebih modern, karena tidak mempersoalkan asal mulanya negara memungut pajak, melainkan hanya melihat kepada efeknya, dan memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini seperti halnya pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara, dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarkat dan untuk membawanya kearah tertentu. Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan pula bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya. Jadi teori ini menitik beratkan ajaran kepada fingsi kedua dari pemungutan pajak, yaitu fungsi mengatur.
Menurut Adriani bahwa teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam massa ekonomi bebas maupun dalam massa ekonomi terpimpin, bahkan pula dalam masyarakat yang sosialis, walaupun tidak terluput dari adanya variasi dalam coraknya, tidak seperti halnya dalam teori terdahulu yang hanya berlaku selama masa tertentu.
Dalam zaman modern banyak terdapat aliran yang tidak menyetujui adanya teori untuk memberi dasar keadilan kepada hak negara untuk memungut pajak, mereka menyandarkannya atas dasar pertimbangan praktis. Pada teori gaya beli tidak menyimpang dari asas keadilan, hanya bila sangat diperlukan, barulah mereka menunjuk kepada sejarah atau mencarikan dasar keadilan untuk pemungutan suatu pajak tertentu.
SUMBER PUSTAKA
Pengantar Ilmu Pajak Prof. Santoso Brotodihardjo
Artikel telah disusun, dan telah ditulis oleh Rizky Harta Cipta SH. MH,Copyright © hukumpositif.com

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management